Pengikut

Jumat, 01 April 2011

Bali Terancam Krisis Air Bersih


Air Kotor di Bali


Enam bulan lalu, Ni Nyoman Lemon terpaksa pindah dari rumahnya di Sidakarya, Denpasar Selatan ke kampungnya di Beraban, Tabanan. Pasalnya usaha pembuatan sayur taoge, penghasilan utama keluarganya terancam. Air sumurnya tiba-tiba asin sekali dan membuat bibit taoge rusak.
“Pada hari kedua, sehari menjelang panen, sayur saya rusak dan tidak bisa dijual,” ujar Lemon, perempuan paruh baya ini. Ia berjualan di Pasar Kreneng, Denpasar. Ia dan suaminya harus menempuh rute yang lebih panjang, Tabanan-Denpasar agar bisa menjual taogenya tiap hari.
“Saya harus terus berjualan walau jauh. Saya tidak tahu kenapa air sumur bor saya jadi begitu asin,” katanya lagi. Padahal Lemon mengatakan kedalaman sumurnya sekitar 30 meter. Tetangga sekitar kebanyakan menggunakan air yang dijual Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Lemon dan banyak warga di sekitar Sidakarya tak menyadari, daerah itu memang masuk kawasan rawan intrusi air laut. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bali mencatat intrusi air laut atau masuknya air laut ke daratan dinyatakan telah terjadi di kawasan wisata utama, yakni Kuta, Sanur, Lovina, dan Candidasa. Intrusi air laut di Sanur dan kawasan Denpasar Selatan paling parah, sekitar satu kilometer meter dari pantai dengan kedalaman 25 meter. Denpasar Selatan ini meliputi Suwung dan Sidakarya.
Sementara di Kuta, Candidasa, dan Lovina intrusi terjadi sekitar 5-7 meter dari bibir pantai. BLH memperkirakan Bali akan mulai krisis air bersih pada tahun 2025. Saat itu, diperkirakan penduduk bertambah menjadi 5 juta orang dan sumber-sumber air sulit memenuhi kebutuhan air bersih penduduk dan industri pariwisata di Bali.
“Sumber-sumber air makin menipis, ditambah dengan kemungkinan meluasnya intrusi air laut ke daratan. Air menjadi payau dan tidak aman untuk digunakan,” ujar I Gede Suarjana, Kepala Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Lingkungan BLH Bali, Kamis. Air payau ini juga berbahaya karena mengandung zat berbahaya bagi kesehatan.
Suarjana mengatakan krisis air ditandai dengan sejumlah gejala alam. Misalnya penurunan debit air 162 sungai dari 401 buah sungai yang ada di Bali. Lalu, empat danau vulkanis, Danau Buyan, Beratan, Tamblingan, dan Batur juga mengalami pendangkalan dan sedimentasi parah.
“Sedimentasi di Danau Buyan 100 ton per tahun. Salah satunya karena pemampatan pupuk urea yang digunakan petani di kawasan pertanian Pancasari dan kawasan wisata Bedugul,” ujarnya.
Penggunaan air bawah tanah (ABT) juga makin tak terkendali. Ini juga dituding penyebab utama intrusi air laut. “Industri perhotelan di 15 kawasan wisata menggunakan ABT, dan ribuan lainnya untuk konsumsi rumah tangga. Kita belum menindak tegas penggunaan ABT untuk industri yang ilegal,” kata Suarjana.
Data BLH terakhir menyebutkan jumlah sumur dalam untuk komersial di Bali hanya sekitar 308 buah yang berizin. Pihaknya mengaku tidak secara khusus mengawasi sumur-sumur ABT yang ilegal. “Kenyataannya pasti lebih besar di lapangan dan juga yang ilegal,” kata Suarjana.
Krisis air ini, kata Suarjana harus diantisipasi PDAM Bali yang mensuplai air. “PDAM baru menjangkau 60% pelanggan di perkotaan. Diperlukan alternatif untuk memperluas jangkauan konsumen untuk mengurangi pengeboran ABT dan teknologi baru pengolahan air,” urainya.
Pihaknya mengaku hanya mencoba mengendalikan penggunaan ABT dengan cara memasang watermeter pada sumur-sumur dalam yang dibuat industri wisata. “Dari alat ukur watermeter kita bisa melihat berapa kubik air yang dipompa dari dalam tanah,” jelasnya. Namun penggunaan alat ini juga masih belum diawasi secara intensif.
Untuk menjaga suplai air bawah tanah, salah satunya mempeluas daerah tangkapan air hujan di Bali. Cara sederhana untuk membuat penampungan air dalam tanah, menurut Suarjana dengan lubang biopori yang dibuat dengan alat sederhana yang mampu melubangi tanah dengan kedalaman sekitar satu meter. “Kami baru mendapat 63 alat membuat biopori yanga kan didistribusikan ke seluruh kabupaten di Bali,” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar