Oleh Irma Tambunan
Dua
tahun terakhir merupakan masa pencarian yang melelahkan bagi Abunyani.
Tak sia-sia, pencarian itu berhasil mengungkap identitas suku Bathin IX,
komunitas terasing yang menempati hutan-hutan di Jambi. Abun menyebut
pencarian ini sebagai upaya membangkitkan batang terendam.Abun memperkirakan ada 15.000 warga suku Bathin IX yang hidup berpencar di sepanjang sembilan daerah aliran sungai di Kabupaten Batanghari, Muaro Jambi, dan Sarolangun. Dari jumlah itu, ternyata sebagian besar tak menyadari dirinya sebagai keturunan suku Bathin IX. Bahkan, ketika ditanya apakah pernah mendengar tentang suku tersebut, banyak yang menjawab belum.
”Ini sangat ironis,” kata Abun yang tinggal di Desa Kilangan, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Abun meyakini nenek moyangnya merupakan salah satu komunitas yang paling awal menghuni Jambi. Komunitas ini merupakan pemilik sebagian hutan adat di Jambi, yang kemudian berubah status menjadi hutan produksi dan perkebunan.
Sayangnya, identitas adat suku Bathin IX waktu itu seperti masih kabur. Identitas itu kian tenggelam ketika banyak pihak menyamakan mereka dengan Orang Rimba atau suku Kubu di Bukit Duabelas, yang identik sebagai kaum terbelakang.
Berbekal keingintahuan yang besar itulah, selama dua tahun terakhir Abun rajin mengunjungi para tetua, yang biasa disebut datuk. Dari hampir 30 datuk yang masih hidup (tujuh di antaranya kini telah meninggal) di sekitar sembilan sungai pada tiga kabupaten tersebut, dia mendapatkan banyak penuturan mengenai sejarah, hukum, budaya, hingga wilayah adat Bathin IX.
Dari hasil pencarian, Abun berhasil mengungkap nenek moyang Bathin IX sebenarnya berasal dari Kerajaan Mataram yang memiliki anak bernama Pangeran Nagasari. Keturunan Nagasari kemudian membentuk komune baru dan menempati sepanjang Sungai Semak (kini Sungai Bulian), Bahar, Singoan, Jebak, Jangga, Telisak, Sekamis, Semusir, dan Burung Hantu. Sungai- sungai itu diberi nama sesuai nama para anak.
Menurut Abun, kehidupan masyarakat Bathin IX semula sangat berlimpah karena sumber makanan begitu mudah diperoleh dalam hutan. Karena itulah, masyarakat memiliki penghormatan tinggi kepada hutan sebagaimana mereka merasa hidup nyaman di dalamnya.
Tidak pernah ada aktivitas yang mengeksploitasi hutan. Kalaupun warga hendak membuka lahan untuk menanam padi, jagung, dan ubi, mereka akan mendahuluinya dengan rangkaian ritual. Sesuatu yang pada masa kini tak mungkin dilakukan para pengusaha pemilik konsesi hutan. Mereka yang membuka ratusan hektar areal hutan dalam sekejap dengan bantuan alat berat.
Sebelum membuka lahan, warga Bathin IX lebih dulu menancapkan kayu temeras selama tiga hari di lokasi yang dimaksud. Lalu, seorang dukun akan mendapatkan perasaan tertentu untuk membaca jika wilayah itu dapat dibuka menjadi kebun atau tidak.
”Kalau dukun melarang tempat itu dibuka menjadi kebun, berarti areal tersebut diyakini keramat sehingga harus dihargai. Lokasi itu tak boleh dibuka,” ujarnya.
Pada tempat yang boleh dibuka menjadi kebun, penebangan kayu dilakukan secara pilih-pilih. Tanaman jernang atau yang memiliki nilai ekonomi tinggi tidak akan dibabat.
Penghargaan kepada alam
Tak hanya membuka lahan, penanaman padi juga melalui rangkaian ritual yang menunjukkan penghargaan kepada alam. Pada malam sebelum penanaman dimulai, masyarakat menggelar seni gambus, menandai dimulainya masa bekerja.
Esoknya, para ibu menggendong bibit padi ke sawah, sementara para bapak melubangi tanah. Setelah benih ditanam, setiap sore para petani mengasapi sawah selama 40 hari berturut-turut. Mereka percaya pengasapan akan efektif mengusir hama. Bulir padi pun menjadi gemuk.
Abun melanjutkan, perubahan dialami masyarakat Bathin IX mulai tahun 1974. Program transmigrasi besar-besaran telah merampas hutan adat mereka. Perusahaan sawit dan pemegang konsesi hutan pun mengambil alih hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat Bathin IX.
”Hutan kami digilas alat berat dan hanya dalam beberapa hari berubah menjadi lapangan yang sangat luas,” kenangnya.
Bersamaan dengan itu pula identitas Suku Bathin IX tenggelam. Departemen Sosial mengadakan program permukiman kembali masyarakat terasing (PKMT) bagi masyarakat komunitas Suku Bathin IX dan Orang Rimba. Namun, dalam program itu, identitas kedua suku disatukan, menjadi suku Anak Dalam.
Selama 30 tahun lebih, sebutan Bathin IX seakan menghilang. Banyak generasi muda yang mengetahui dirinya adalah keturunan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba, tetapi kepada orang luar mereka malu mengakui. Mereka lebih suka menyebut dirinya warga desa.
Abun merekam semua penuturan para datuk tersebut, dan sesampainya di rumah, tiga dari lima anaknya bergantian menuliskan hasil rekaman penuturan itu dengan komputer.
”Saya kan cuma sekolah SMP, itu pun tidak lulus. Mana bisa saya mengetik? Tapi, anak-anak berhasil sekolah tinggi dan mereka ikut membantu usaha ini,” ujarnya.
Dari penelusurannya, Abun menyadari bahwa suku Bathin IX memiliki kekayaan budaya ataupun hukum adat. Tak hanya tradisi penghargaan kepada hutan, komunitas ini memiliki tradisi besalih (ritual berobat), nuak dukun beranak (ritual berdoa memohon keselamatan bagi perempuan mengandung), ataupun antar sirih tanyo (meminang gadis).
Demikian pula dengan hukum adat dan hukum besamo (musyawarah untuk menyelesaikan perselisihan). Itu semua ia tuliskan dalam buku Tembo Adat Tradisi Suku Anak Dalam Bathin IX Jambi yang terbit awal tahun ini.
Bagi Abun, apa yang tersirat dari para tetua akhirnya dapat tersuratkan. Seluruh hasil pencarian ini akan disebarkan kepada warga Bathin IX agar mereka dapat mengenal identitas adatnya.
Dari para datuk turun kepada para orangtua, dari orangtua turun ke anak-anak, dan dari anak turun kepada cucu. ”Dengan demikian, identitas suku Bathin IX tidak menghilang. Ini bagai membangkitkan batang yang terendam,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar