Pengikut

Selasa, 01 Maret 2011

USAID Bantu Indonesia Atasi Masalah Air Bersih dan Sanitasi

Jakarta, - Untuk membantu permasalahan air bersih dan sanitasi di beberapa daerah di Indonesia, Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) membantu masyarakat Indonesia untuk pemanfaatan air bersih dan sanitasi di lingkungan mereka.

Hal ini disampaikan dalam siaran pers yang dikeluarkan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta.



JAKARTA - Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) telah membantu Indonesia untuk menurunkan kasus diare secara signifikan di lingkungan masyarakat Indonesia yang menerapkan pemanfaatan air bersih dan sanitasi. Jumlah orang yang menderita penyakit yang disebarkan oleh air mengalami penurunan dari 18,3% pada Februari 2007 menjadi 7,7% pada Juni 2009 di Aceh, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah/Yogyakarta, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Papua.

Dalam persiapan lokakarya USAID tentang air bersih dan sanitasi, Direktur USAID Walter North mengatakan bahwa Program Layanan Lingkungan (Environmental Services Program/ESP) USAID memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perbaikan kesehatan masyarakat baik melalui perbaikan pengelolaan sumber daya air maupun perluasan akses ke air bersih dan layanan sanitasi. ESP adalah sebuah program selama enam puluh empat bulan yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, LSM, kelompok masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui perbaikan pengelolaan sumber daya air dan perluasan akses ke air bersih dan layanan sanitasi.

“Air minum yang tidak aman merupakan penyebab utama diare, yang merupakan pembunuh utama kedua pada anak-anak balita. Tiga dari sepuluh rakyat Indonesia menderita penyakit yang disebarkan oleh air,” jelas North. “Untungnya, selama beberapa tahun terakhir kita melihat minat dan dukungan yang semakin tinggi yang diberikan oleh pemangku kepentingan untuk meningkatkan akses ke air bersih bagi masyarakat Indonesia.”

ESP juga memberikan kontribusi bagi sejumlah perbaikan dalam pengelolaan konservasi kawasan hutan seluas 78.144 hektar dan merehabilitasi 52.561 hektar lahan rusak untuk mendukung konservasi sumber daya air. Ini membantu lebih dari 1,25 juta orang memperoleh akses ke air bersih dan 60.000 orang memperoleh manfaat dari layanan sanitasi masyarakat. Program ESP ini, yang dilaksanakan dengan kerjasama erat dengan Pemerintah Indonesia dan sejumlah mitra masyarakat sipil, membantu mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) yang penting.

Di Batavia, Air Bersih Susah


KOMPAS.com — Berita soal air minum kemasan yang bikin sakit perut atau malah keracunan karena ternyata palsu—diisi air mentah—sudah sering terdengar. Bicara soal air, kisah Tio Tek Hong mengingatkan warga Jakarta bahwa pernah ada sumur dengan air jernih di Waterlooplein (Lapangan Banteng).

Ia menulis, orang Tionghoa suka mengambil air di sumur itu. "Cocok dan baik untuk menyeduh teh," katanya. Bahkan, ahli teh menggunakan air itu untuk mengetahui mana teh yang baik dan yang tidak. Keperluan akan air jernih begitu mendesak, sementara air leding belum ada, maka air yang berasal dari sumur di Waterlooplein pun laris.

Demikian pula di Tanah Abang, yaitu di Kampung Lima (Jalan Asem Lama) ada sumur di pekarangan rumah. Meski harus bayar f 1,50 per tahang (tong), warga pun rela. Air dari sumur ini diedarkan keliling menggunakan gerobak.

Tio Tek Hong adalah pria Tionghoa peranakan kelahiran 1870-an di Pasar Baru. Penjual plaatgramafoon, alat untuk memainkan musik, ini juga menuliskan bahwa air minum yang dulu umum di Batavia adalah dari air hujan yang disimpan di tempayan besar atau air kali yang dijual secara pikulan seharga satu sen sepikul (dua kaleng minyak tanah).

Dalam buku Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959, Tio juga menyebutkan, ada air minum yang bersumber dari sumur lain, yaitu sumur bor (artesis). "Tidak banyak orang suka air ini, rasanya tidak enak dan bila dipakai menyeduh teh, air teh jadi hitam," ujarnya. Jadi, warga Batavia tetap memilih menggunakan air kali. Saringan batu kapur menjadi alat saring air kali sebelum digunakan. Tentu yang mampu menggunakan saringan itu hanya mereka yang mampu secara finansial.

Masalah air bersih untuk minum sebenarnya sudah terjadi sejak awal Batavia, sejak abad ke-17. Persoalannya, Batavia dibangun di atas rawa sehingga kondisi airnya buruk. Di tahun 1843, Pemerintah Belanda selesai membuat sumur artesis pertama di Prince Frederik Citadel. Lokasi itu kini ada di sekitar Masjid Istiqlal. Dalam kurun 30 tahun kemudian, dibikin lagi enam sumur sejenis. Termasuk yang ada di sisi utara Koningsplein (Medan Merdeka).

Scott Merrillees dalam Batavia in Nineteenth Century Photograph memperlihatkan gambar sumur artesis itu dengan jelas. Sumur itu dibikin begitu artistik dengan patung-patung di bagian kolom-kolom bangunan itu. Maka, bangunan ini pun jadi salah satu ikon Batavia kala itu. Air dari sumur ini menghidupi warga di Meester Cornelis (Jatinegara) dan seluruh Batavia, gratis pula. Pipa air mengalir hingga 90 km ke rumah-rumah warga, khususnya warga Eropa. Pasalnya, banyak warga Batavia tak suka cita rasa air sumur artesis.

Sekitar akhir 1920, sudah ada 50 sumur artesis di Batavia. Kedalamannya beragam, dari 100 m hingga 395 m. Namun, lama-kelamaan warga yang biasa menggunakan air sumur artesis ini juga menemukan bahwa air berubah warna menjadi kuning dan kualitas air yang juga menurun. Ini terjadi setelah penduduk Batavia meningkat, tentunya.

Akhirnya, pada Oktober 1918, Kotapraja Batavia memutuskan membangun saluran air minum baru yang sumbernya diambil dari Ciomas, Bogor, di kaki Gunung Salak. Hal itu diputuskan setelah terbentuk Perusahaan Air Minum (PAM). Pembangunan ini dimulai tahun 1920 dan diresmikan November 1922.

Yang pasti, jejak sumur-sumur itu kini sudah tak bisa ditemukan di atas tanah. Sumur artesis yang kemudian dibangun begitu indah pun lenyap bekasnya. Masalah air kini, dengan bertumpuknya orang di pulau Jawa, khususnya Jakarta, tentu perlu penataan yang ketat agar air di Jakarta tetap terpelihara kualitas dan kuantitasnya.

Mimpi, Berharap Air Bersih Siap Minum


— Swastanisasi pengelolaan air minum di Jakarta belum kunjung berhasil meningkatkan pelayanan dan kualitas air bagi warga secara berarti. Jangankan mencapai mutu yang memungkinkan air keran dapat diminum langsung, untuk menjadikannya sebagai air minum yang dimasak pun sebagian pelanggan hingga kini ”tidak berani”.

Dalam mengelola air bersih untuk warga Ibu Kota, tahun ini genap satu dekade Perusahaan Daerah Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) bermitra dengan dua perusahaan besar yang ahli dalam pengelolaan air: Lyonnaise des Eaux dari Perancis dan Thames Water Overseas Ltd dari Inggris. Kemitraan ini menyandang dua nama, PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), yang bertanggung jawab atas penyediaan serta layanan air bersih di belahan barat Jakarta, dan Thames PAM Jaya (TPJ), yang mengurus air bersih di belahan timur Jakarta. Awal April lalu TPJ berganti nama menjadi PT Aetra.

Palyja dan PT Aetra menjadi tumpuan dalam pemenuhan kebutuhan penduduk Jakarta akan air bersih. Kedua perusahaan ini tentu saja bergantung pada sumber air baku. Air baku bagi Palyja, 64 persen berasal dari Waduk Jatiluhur. Sisanya diambil dari air Kali Krukut dan Sungai Cisadane. Sedangkan air baku untuk Aetra hampir seluruhnya disuplai dari Waduk Jatiluhur.

Meski sudah bekerja sejak 1998, kedua perusahaan ini hingga sekarang masih belum lepas dari ”kesulitan dasar”, yakni kebocoran air. Kebocoran air itu, menurut Komisi B DPRD DKI Jakarta, bahkan meningkat, dan target investasi belum terpenuhi.

Dengan demikian, kinerja kedua operator swasta ini dinilai belum memuaskan (Kompas, 5/4/2008). Idealnya, kebocoran air itu sekitar 30 persen. Kini angka kebocoran air di DKI Jakarta masih 50,68 persen.

Swastanisasi pengelolaan air minum di DKI Jakarta—dimulai pada 1994—dilakukan atas rekomendasi Bank Dunia. Tujuannya, untuk meringankan beban utang pemerintah.

Akan tetapi, selain masalah kebocoran air, ada masalah lain lagi yang mendorong ke arah swastanisasi tersebut. Masalah itu adalah cakupan layanan yang masih rendah dan kualitas air yang masih belum layak minum. Hal itulah yang menjadi pertimbangan untuk dilakukan swastanisasi tersebut.

Pada 1994 itu swasta yang mendapatkan hak pengelolaan adalah PT Kekarpola Airindo (yang menggandeng Thames Water Overseas Ltd) dan PT Garuda Dipta Semesta (yang menggandeng Lyonnaise des Eaux).

Pada Mei 1998 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghentikan kerja sama dengan PT Kekarpola Airindo dan PT Garuda Dipta Semesta. Namun, pihak DKI Jakarta tetap mempertahankan Thames Water Overseas Ltd, serta Lyonnaise des Eaux.

Tiga tahun setelah penandatanganan kerja sama (2001) muncul advertorial di media massa yang menyatakan, target pengelola air bersih Jakarta adalah menyediakan air siap minum (langsung dari keran) pada 2007. Kini, 2008, janji iklan itu belum terpenuhi. Meminum air bersih langsung dari keran, seperti yang jamak di kota-kota besar negeri lain—Singapura misalnya—masih sekadar mimpi.

Hasil jajak pendapat

Jangankan meminum air langsung dari keran, sebagian warga Jakarta sekarang malah menyatakan tak mau menjadikan air PAM sebagai air minum. Hal itu dinyatakan sebagian besar responden jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas, yang dilakukan pada 23-24 April 2008. Jajak pendapat ini melibatkan 319 responden. Lebih dari separuh responden, yakni 53 persen, menyatakan tidak berlangganan air PAM.

Di kalangan responden pelanggan PAM, yang mau menggunakan air itu untuk minum hanya 10,7 persen, untuk mandi 16,6 persen, buat memasak sebesar 9,1 persen, dan buat mencuci 4,1 persen.

Meskipun air PAM menjadi andalan air bersih bagi 36,4 persen responden untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ternyata mereka juga menyedot air tanah dengan jet pump 9,4 persen, sumur pompa 9,1 persen, dan membeli air 7,2 persen.

Pelanggan air PAM di Jakarta Utara—wilayah yang relatif sulit mendapatkan air selain dari air PAM atau dari penjual air—bahkan hanya menggunakan air yang diterimanya untuk mandi. Ada pula responden yang menyatakan bahwa air PAM tidak baik jika dikonsumsi oleh bayi.

Responden yang tinggal di Jakarta Selatan dan tidak mempunyai akses jaringan PAM Jaya malah memilih menggunakan air tanah yang kualitasnya mereka nilai lebih baik dibandingkan dengan air PAM.

Meski ada yang masih enggan menjadikan air PAM sebagai air minum, 33,5 persen responden menganggap bahwa air PAM kini jernih, 26 persen mengatakan air itu tidak berbau, tetapi hanya 31,7 persen yang menyatakan puas dengan mutu air yang kini dia terima.

Air PAM, kata 30,4 persen responden, mengalir setiap saat. Tarif rata-rata air Rp 7.025 per meter kubik oleh 22,3 persen responden dinilai wajar, 14,4 persen menilainya mahal, dan 6,6 persen menganggap itu sangat mahal.

Air dangkal

Standar kebutuhan air per orang adalah 160 liter per hari. Penduduk Jakarta (terdaftar) pada tahun 2006, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), adalah 8.061.680 jiwa. Berdasarkan jumlah pelanggan air PAM, kebutuhan air untuk rumah tangga 14.826 liter per detik. Akan tetapi, produksi air untuk Jakarta hanya 13.429 liter per detik. Ada kekurangan.

Oleh karena itu, penduduk Jakarta pelanggan air PAM masih menggunakan air tanah, khususnya air tanah dangkal (0-40 meter), seperti warga yang tidak memiliki akses ke jaringan PAM. Data Dinas Pertambangan DKI (2006) dan Badan Regulator DKI (2007) menunjukkan, tingkat penggunaan air tanah di Jakarta sudah lebih dari 44 persen.

Namun, kualitas air tanah dangkal di Jakarta cenderung terus menurun, terkontaminasi limbah rumah tangga yang tidak dikelola dengan baik. Data dari BPLHD (2007) dan Teknik Lingkungan UI (2007) menunjukkan, hampir 70 persen dari sampel air tanah dangkal yang dianalisis di laboratorium berada dalam kondisi tercemar. Warga Jakarta yang merasa bahwa air PAM masih belum layak dikonsumi juga berhadapan dengan kualitas air tanah yang sudah tercemar.

Air bersih adalah salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar kehidupan yang sehat. Untuk Jakarta, pemenuhan standar itu masih terlalu jauh. Andaikan kebocoran yang kini masih 50,68 persen dapat ditekan menjadi 30 persen, air yang terselamatkan itu belum tentu dapat mengalir ke rumah penduduk yang kini belum mendapatkan akses air PAM. Investasi saluran bukanlah hal yang murah.

Di satu sisi pemenuhan kebutuhan akan air bersih bagi warga Jakarta terkendala oleh jangkauan jaringan pipa yang terbatas dan tingkat kebocoran yang tinggi. Sudah begitu, ”kebersihan air bersih” itu sendiri belum kunjung dipercaya oleh konsumennya.

Di sisi lain ada kenyataan kualitas air tanah yang kian buruk akibat pencemaran, dan pemanfaatan air tanah yang sudah berlebihan.

Manfaat swastanisasi pengelolaan air bersih untuk Jakarta yang disarankan Bank Dunia, 18 tahun yang lampau, agaknya hanya sampai pada meringankan beban utang pemerintah. Manfaatnya masih jauh dari pemenuhan standar kehidupan yang sehat bagi warga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar